Sabtu, 01 Agustus 2009

Proses Tata Cara Pernikahan Islam - Sebuah Evaluasi


Oleh : Salmah Machfoedz
Courtesy From : www.perpusatakaanislam.com

Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang
akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau
aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga mereka yang tergolong ahli
ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat
kita, hal ini tidak banyak diketahui orang.

Pada risalah yang singkat ini, kami akan mengungkap tata cara
penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang
sesat (bidah). Sehingga orang-orang yang mengamalkannya akan berjalan
di atas landasan yang jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini
kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya
Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari
calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan.
Walaupun sederhana tetapi penuh barakah dan tetap terlihat mempesona.
Islam juga menuntun bagaimana memperlakukan calon pendamping hidup
setelah resmi menjadi sang penyejuk hati.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam
secara singkat.

Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah

I. Minta Pertimbangan

Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang
wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan
dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka
hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan
dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan
dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh
seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya
yang baik agamanya.

II. Shalat Istikharah

Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon isterinya,
hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi
kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan.

Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar
diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat
istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan mencari jodoh
saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang mengalami rasa
bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang penting.
Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada
penderitaan hidup. Insya Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam
menetapkan suatu pilihan.

III. Khithbah (peminangan)

Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita
pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut
harus menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk
menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia direstui untuk
menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah bilamana
memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:

1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang
menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti
karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya
(masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar
dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan
seseorang meminang pinangan saudaranya.

Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin
yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang
sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang
sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya."
(HR. Jamaah)

Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi
seorang laki-laki untuk meminangnya.

IV. Melihat Wanita yang Dipinang

Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat
wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk
melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak
benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan
hidupnyaDari Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:

"Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka
apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya
untuk menikahinya." Jabir berkata: "Maka aku meminang seorang budak
wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku
untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu Daud dan dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832). Adapun
ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan
ini di antaranya adalah:

1. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
2. Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan dengan laki- laki
yang meminangnya.

V. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.

Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul
artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan
sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan
menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan "ijab qabul" adalah
seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada
calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya,
untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut
sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima
pernikahannya itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa:
Sahl bin Said berkata: "Seorang perempuan datang kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata:
"Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama sekali (untuk
menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: "Wahai
Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat
padanya." Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda: "Aku
kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu." (HR. Bukhari
dan Muslim).

Hadist Sahl di atas menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam telah mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar
atau maskawinnya ayat Al-Quran dan Sahl menerimanya.

c. Adanya Mahar (mas kawin)

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak
menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan
batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan
kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebih
menyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak
berlebih-lebihan dalam memintanya.

Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan." (HR. Al-Hakim dan Ibnu
Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)

d. Adanya Wali

Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: "Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali." (HR. Abu Daud
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no.
1836).Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian
wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada
barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu
atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah
kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.

e. Adanya Saksi-Saksi

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi
yang adil." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat
Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).

Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sebelum aqad nikah
diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau
khuthbatul-hajat.

VI. Walimah

Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf:

"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing." (HR.
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Abu Dawud
no. 1854)

Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib."Jika kalian diundang
walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang
lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia
telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198,
Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).

Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat
maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan
merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak
mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan
tempat itu.

Dari Ali berkata: "Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan
melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda:

"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada
gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat Al-Jamius Shahih
mimma Laisa fis Shahihain 4/318 oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii).

Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah
sebagai berikut:

1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya)
seperti yang dibawakan oleh Anas radliallahu `anhu, katanya:

Dari Anas radliallahu `anhu, beliau berkata: "Rasulullah
shallallahu`alaihi wa sallam telah menikahi Shafiyah dengan maskawin
pembebasannya (sebagai tawanan perang Khaibar) dan mengadakan walimah
selama tiga hari." (HR. Abu Yala, sanad hasan, seperti yang terdapat
pada Al-Fath 9/199 dan terdapat di dalam Shahih Bukhari 7/387 dengan
makna seperti itu. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah Al-Muthaharah oleh
Al-Albani hal. 65)

2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya
sesuai dengan wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

"Jangan bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan jangan makan
makananmu kecuali seorang yang bertaqwa." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Said Al-Khudri, hasan, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 7341 dan Misykah Al-Mashabih 5018).

3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan
taraf ekonominya. Keterangan ini terdapat dalam hadits Al-Bukhari,
An-Nasai, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Anas radliallahu `anhu.
Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Abdurrahman
bin Auf:

"Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud
dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)

Akan tetapi dari beberapa hadits yang shahih menunjukkan dibolehkan
pula mengadakan walimah tanpa daging. Dibolehkan pula memeriahkan
perkawinan dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana (bukan musik)
dengan syarat lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan ahklaq
seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah bahwasanya ia mengarak seorang wanita menemui seorang pria
Anshar. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Wahai Aisyah,
mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang
pada hiburan." (HR. Bukhari 9/184-185 dan Al-Hakim 2/184, dan
Al-Baihaqi 7/288). Tuntunan Islam bagi para tamu undangan yang datang
ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai dan
keluarganya.Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang
mempelai, beliau mengucapkan doa: "Mudah-mudahan Allah memberimu
berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan kepadamu dan
mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam kebajikan." (HR.
Said bin Manshur di dalam Sunannya 522, begitu pula Abu Dawud 1/332
dan At-Tirmidzi 2/171 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 89)

Adapun ucapan seperti "Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak
anak" sebagai ucapan selamat kepada kedua mempelai adalah ucapan yang
dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang sering
dikatakan oleh Kaum jahiliyyah.

Dari Hasan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita
dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah:
"Bir rafa wal banin." Aqil bin Abi Thalib mencegahnya, katanya:
"Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya."
Para tamu bertanya: " Lalu apa yang harus kami ucapkan ya Aba Zaid?"
Aqil menjelaskan, ucapkanlah: "Mudah- mudahan Allah memberi kalian
berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan." Seperti itulah kami
diperintahkan. (HR. Ibnu Abi Syaibah 7/52/2, An-Nasai 2/91, Ibnu Majah
1/589 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 90)

Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga
Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang- orang yang ikhlas untuk
mengikuti petunjuk yang benar dalam memulai hidup berumah tangga
dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaih wa sallam.
Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-hamba yang dimaksudkan
dalam firman-Nya: "Yaitu orang-orang yang berdoa: Ya Rabb kami,
anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami). Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa." (Al-Furqan: 74).

Maraji:
- Fiqhul Marah Al-Muslimah, Ibrahim Muhammad Al-Jamal.
- Adabuz Zifaf fis Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas
yang engkau mampu

Selasa, 06 Januari 2009

BERSATULAH UMAT ISLAM


Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.(QS: Al Furqaan/25 : 52).

Dalam surah Ali Imran: 103, Allah SWT. memerintahkan agar kita berpegang teguh terhadap tali Allah dan jauhi perpecahan. Dalam ayat tersebut Allah berfirman: wa’tashimuu bihablillah jamii’aw walaa tafarraquu. Dalam kata wa’tashmuu terkesan makna keharusan bersungguh-sungguh memegang tali Allah. Jangan main-main –apalagi mempermainkan– sedikitpun. Lalu dari kata jamii’aa, tergambar makna bersama-sama, saling melengkapi, penuh nuansa persaudaraan, tanpa sedikitpun permusuhan. Lalu dipertegas lagi dengan kata walaa tafarraquu yang artinya jangan berpecah belah. Allah tidak berfirman: walaa takhtalifuu (jangan berbeda pendapat), sebab perbedaan pendapat dalam wilayah fikih adalah fitrah. Masing-masing manusia Allah bekali kecerdasan akal yang berbeda. Pun juga masing-masing mempunyai kesungguhan yang berbeda dalam mencari ilmu. Maka sudah pasti perbedaan pendapat akan sulit dihindari. Karenanya Allah tidak melarang perbedaan pendapat.
Berdasarkan hal tersebut, perbedaan pendapat pasti akan terjadi sekalipun di zaman Rasulullah saw. Banyak riwayat yang merekam perbedaan pendapat antara para sahabat seperti perbedaan pendapat terhadap teks hadits yang memerintahkan shalat Ashar di Bani Quraidzah. Sebagian sahabat paham bahwa maksudnya bukan tempatnya, melainkan segeranya pergi ke Bani Quradzah. Sebab, shalat Ashar ada waktunya yang tidak bisa ditunda. Namun sebagian sahabat memahami hadits apa adanya, sekalipun kemudian mereka shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib di Bani Quraidzah. Tetapi ternyata perbedaan pendapat tersebut tidak mebuat mereka berpecah-belah. Mereka tetap bersatu dan bersinergi. Demikian juga perbedaan pendapat antara para imam madzhab fikih yang empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i. Mereka sangat toleran dan saling menghormati. Bahwa perbedaan fikih bukan suatu yang harus menyebabkan perpecahan. Ketika Imam Syafi’i diminta menjadi imam shalat Subuh di pusat wilayah madzhab Hanafi, ia tidak membaca qunut. Ketika ditanya, ia menjelaskan bahwa itu sikap hormat terhadap pendapat madzhab Hanafi yang tidak membaca qunut pada saat shalat Subuh.
Lebih-lebih sekarang, kita menyaksikan umat Islam dibantai dari berbagai arah. Bukan hanya serangan pemikiran, melainkan lebih dari itu: serangan senjata yang menelan ratusan nyawa. Maka bukan saatnya lagi kita centang perenang sibuk dengan perbedaan fikih, perbedaan bendera partai, atau perbedaan nama golongan. Allah yang kita sembah masih sama. Kiblat shalat kita juga masih sama. Jumlah rakaat shalat fardhu kita tidak ada bedanya. Nabi yang kita ikuti juga sama. Nama agama kita sama. Tempat kita melaksanakan ibadah haji juga sama. Lalu apa yang akan membuat kita tidak mau bekerja sama? Apakah hanya karena perbedaan pemahaman terhadap satu teks ayat atau hadits secara fikih lalu kita berpecah belah, saling menjatuhkan bahkan saling menyesatkan?
Sejauh yang saya amati, perbedaan antara kelompok umat Islam yang ada masih sekitar perbedaan fikih dan cara berdakwah. Sebagian mengambil yang tradisional dan sebagian lebih akademis. Sebagian menitikberatkan kepada dakwah dari masjid ke masjid, dan sebagian yang lain fokus pada ashalah sunnah sesuai dengan teks sahih dari Rasulullah saw. Karenanya, kelompok ini sangat teliti mengecek kesahihan hadits dan menyajikannya secara ilmiah. Sebagian fokus pada perbaikan sosial politik supaya lebih bersih, lebih memihak kepada kemaslahan masyarakat secara umum dan lebih sesuai dengan ajaran Islam yang kaffah. Sebagian yang lain memilih misi dakwahnya mengcounter pemikiran sesat. Semua kondisi ini sungguh tidak cukup alasan untuk berpecah-belah.
Karena itu, ayo bersatulah, wahai umat Islam! Umat ini sangat membutuhkan persatuan kalian. Tidak ada persaudaraan tanpa persatuan. Allah tidak akan pernah menurunkan rahmat dan pertolonganNya kepada umat yang berpecah-belah. Karena itu, tanamkan budaya ishlah “fa ashlihuu” karena ini jalan satu-satunya untuk menegakkan persaudaraan (ukhuwah). Allah berfirman dalam surah Al-Hujuraat: 10:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu; dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat).”
Wallahu a’lam bishshawab.
Dr. Amir Faishol Fath

PALESTINA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH


Dilihat dari sudut pandang sejarah, Zionis Israel Yahudi tidak memiliki akar sejarah sebagai penduduk asli Palestina. Kedatangan mereka ke tanah Palestina pada permulaan akhir periode sebelum lahirnya Isa bin Maryam sampai permulaan masehi bukanlah sebagai pemilik, tetapi sebagai imigran dari Mesir. Begitu juga kedatangan mereka ke tanah Palestina saat ini yang berujung pada kolonialisasi. Sebelum masuknya bangsa Israel, Palestina telah dihuni oleh bangsa Kanaan yang merupakan nenek moyang bangsa Arab Palestina saat ini. Ini disebutkan dalam Kitab Bilangan XIII ayat 17-18, “Maka Musa menyuruh mereka mengintai tanah Kanaan… dan mengamat-amati keadaaan negeri itu; apakah bangsa yang mendiaminya kuat atau lemah, apakah mereka sedikit atau banyak.”
Pernyataan serupa juga diceritakan dalam Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an menyebutkan bahwa bangsa Israel itu tidak layak atas tanah Palestina karena perilaku mereka sendiri.
Musa berkata, “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan bagimu (selama kamu beriman). Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian akan menjadi orang-orang yang merugi”. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa (bangsa kanaan). Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar. Jika mereka keluar, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut kepada Allah yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang kota ini. Maka bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman.” Mereka berkata, “Hai Musa, sekali-kali kami tidak akan memasukinya selamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya akan duduk menanti di sini saja.” Berkata Musa, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara aku dan orang-orang yang fasik itu.” Allah berfirman (jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. Lalu, selama itu mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu, maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang fasik itu. [Al-Maidah (5): 21-26].
[Al-Maidah (5): 21-26]

MENGUTUK AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA


Kalangan Akademisi dan ahli sejarah Palestina menilai, hari Sabtu (1/2) merupakan peristiwa terburuk bagi Palestina sepanjang sejarah penjajahan Israel sejak tahun 1967. Tercatat 61 syuhada dan 160 luka akibat pembantaian Israel tersebut.
Pernyataan ini diungkapkan Dosen bidang sejarah Univeritas Islam Gaza, DR. Sami Abu Zuhri kemarin. Ia mengatakan, “Puluhan syuhada kemarin gugur dalam serangan biadab Israel ke wilayah Gaza. Peristiwa ini terjadi dua hari sejak pembantaian mereka di Gaza yang menelan 37 korban sipil, “ ungkap Abu Zuhri.
Jumlah ini merupakan paling banyak dalam sejarah penjajahan Israel terhadap Palestina atau sejak tahun 1967. Terutama karena dua hari sebelumnya mereka juga membantai 37 rakyat sipil yang meengakibatkan kehancuran di mana-mana. Inilah yang disebut Wakil Menteri Perang Israel, Metan Filani sebagai pembumi hangusan dan pembersihan massal Palestina.
Sementara itu, Abu Zuhri sebagai Juru Bicara Hamas juga menyebutkan, pembantaian Israel kali ini lebih sadis, karena 25 % korbannya terdiri dari anak-anak, disamping sejumlah wanita. Bahkan ada satu keluarga yang semuanya meninggal akibat serangan udara Israel ini.
Seperti keluarga Athoillah yang rumahnya hancur luluh diterjang rudal-rudal udara yang mematikan. Bapak Athoillah yang sudah tua renta bersama istrinya juga sejumlah anak-analnya meninggal syahid diterjang bom Israel secara bersama-sama. Mereka juga tak segan-segan untuk menghabisi bayi-bayi yang sedang menyusui bersamaan dengan ibunya sekaligus.
Israel tetap tidak menggubris reaksi dunia Internasional yang menentang kejahatan yang mereka lakukan, bahkan Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak, Ahad malam (2/2), mengatakan: “Waktunya telah tiba untuk bertindak. Operasi militer akan berlanjut dan HAMAS memikul tanggung jawabnya,” kata Barak sebagaimana dikutip oleh laman Internet harian lokal Ha’aretz.
Barak mengeluarkan pernyataan itu selama pertemuan dengan para pejabat pertahanan termasuk Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Gabi Ashkenazi dan pemimpin Dinas Keamanan Shin Bet Yuval Diskin.
Siapa menuduh, siapa dituduh? Israel yang jelas-jelas anti perdamaian dan haus darah, mengklaim usaha-usaha mereka selama ini adalah untuk melindungi warga mereka.
Israel memang hanya paham dengan senjata kekuatan, tidak lebih dari itu.
Wa Islama… di mana kalian para pemimpin negara-negara Islam, di mana kalian wahai umat muslim dunia, dan di mana orang yang mengklaim memperjuangkan bangsa Palestina tapi masih bermesraan dengan Israil?? (berbagai sumber)

TERKUTUKLAH ISRAEL LA'NATULLAH






Rasulullah saw bersabda:Sesama muslim itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya dan jangan mendiamkan. Siapa saja yang memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikannya. Siapa saja yang melapangkan satu kesulitan sesama muslim, niscaya Allah akan melapangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitannya pada hari kiamat. Siapa saja yang menutupi kejelakan seorang muslim Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat.(HR.Bukhari dan Muslim)

Minggu, 20 Juli 2008

Sebelum Tidur....

Makruh tidur tengkurap.
Abu Dzar Radhiallaahu anhu menuturkan :Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka. (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Makruh tidur di atas dak terbuka,
karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya. (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur.
Dari Jabir Radhiallaahu anhu diriwayatkan bahwa sesung-guhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman. (Muttafaq��alaih).
Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas),
karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.
Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , seperti :Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu. Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)

Kecerdasan Emosi

Peter Salovey dan John D. Meyer adalah orang yang pertama-tama mengenalkan istilah kecerdasan emosi. Mereka menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan pengetahuan emosi, dan mengarahkan emosi secara reflektif sehingga menuju pada pengembangan emosi dan intelektualitas. Menurut mereka, terdapat empat tahapan keterampilan emosi untuk mencapai kecerdasan emosi. Masing-masing dari empat tahapan kecerdasan emosi itu memiliki empat hal. Berikut penjelasannya masing-masing.


Tahap 1. Persepsi, penilaian, ekspresi emosi
Tahap pertama ini terdiri dari empat hal :
- Mampu mengenal emosi secara fisik, rasa, dan pikir. Artinya seseorang mampu mengenali emosi yang terwujud dalam ekspresi fisik, dalam perasaan yang dirasakan, dan yang ada dalam pikiran.
- Mampu mengenal emosi pada orang lain, desain, karya seni dan lainnya melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku. Artinya, selain mampu mengenali emosi orang lain, juga mampu mengenali emosi yang tergambar dalam sebuah cerita atau musik, mengenali emosi yang diekspresikan tokoh dalam lukisan dan lainnya.
- Mampu mengekspresikan emosi secara tepat dan menunjukkan kebutuhan yang terkait dengan perasaannya.
- Mampu membedakan ekspresi perasaan yang tepat dan yang tidak tepat, antara jujur dan yang tidak jujur. Seseorang tahu bahwa ekspresi emosinya jujur atau tidak. Juga tahu orang lain jujur atau tidak. Begitu juga tahu apakah emosinya dalam suatu situasi tepat atau tidak. Misalnya tahu bahwa dalam upacara pernikahan tidaklah tepat jika bersedih.


Tahap 2. Fasilitasi emosi untuk berpikir
Tahap kedua ini terdiri dari empat hal , yaitu :
- Emosi memberikan prioritas pada pikiran dengan mengarahkan perhatian pada informasi yang penting. Misalnya menghindar bahaya lebih penting karena itu takut datang.
- Emosi cukup jelas dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan sebagai ingatan yang berhubungan dengan rasa.
- Perubahan emosi mengubah perspektif individu dari optimis menjadi pesimis, mendorong untuk mempertimbangkan berbagai pandangan.
- Emosi mendorong adanya pembedaan pendekatan khusus dalam pemecahan masalah. Misalnya saat bahagia akan mendorong lebih kreatif.


Tahap 3. Pengertian dan penguraian emosi; penggunaan pengetahuan emosi.
Tahap ketiga ini terdiri dari empat hal, yaitu:
- Mampu memberikan label emosi dan mengenal hubungan antara berbagai kata dan emosi itu sendiri. Misalnya hubungan antara
- Mampu untuk mengartikan bahwa emosi berkaitan dengan hubungan. Misalnya marah terkait dengan gangguan, sedih terkait dengan kehilangan, takut terkait dengan ancaman, dan lainnya.
- Mampu mengerti rasa yang kompleks. Misalnya mampu memahami terdapatnya campuran rasa, ada cinta, cemburu, benci sekaligus, lalu antara terkejut dan takut, dan lainnya.
- Mampu mengenali perpindahan diantara emosi. Misalnya dari rasa bangga menjadi malu, dari rasa bahagia menjadi sedih, dari rasa tersinggung menjadi rasa kagum.


Tahap 4. Pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual
Tahap terakhir ini juga terdiri dari empat hal, yaitu :
- Mampu untuk tetap terbuka untuk rasa menyenangkan maupun tidak menyenangkan
- Mampu melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi dengan mendasarkan pada pertimbangan adanya informasi atau kegunaan
- Mampu memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
- Mampu mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain dengan mengurangi emosi negatif dan memperbesar emosi positif, tanpa menambahkan atau melebih-lebihkan informasi yang menyertainya.